PALANGKA RAYA - Penolakan dan keberatan terkait adanya penobatan, pengukuhan, dan pendudusan Raja Nansarunai Dayak Ma’anyan atas nama Dr Abriantius di Desa Sanggu, Kabupaten Barito Selatan, terus mengemuka kepermukaan.
Gelombang protes datang dari berbagai elemen Suku Dayak Maanyan, Tokoh, Pemangku Adat Dayak Dusun Maanyan.Sekretaris Kerukunan Warga Dayak (KWD) Dusmala Palangka Raya, Harry Araiyanto mengatakan, pihaknya tidak pernah mendapat informasi maupun berkomunikasi bahkan berkoordinasi dengan para tokoh atau penanggung jawab penobatan Raja Nansarunai dimaksud.
“Seharusnya panitia berkomunikasi, apalagi ini membawa nama Dayak Maanyan, yang mana kerukunan Dusmala ini juga ada di tingkat Nasional, Provinsi hingga Kabupaten dan Kota. Hal seperti ini juga mestinya harus ada pengkajian secara hukum, baik dari akademisi, tokoh adat dan lainnya, karena ini menyangkut masalah adat, budaya dan sejarah, ” katanya, Senin (8/8/2022) tadi.
Akibat ulah segelintir oknum ini, tentunya berimplikasi dan menyebabkan orang Dayak Ma’anyan kisruh dan dibuat pengkotakan. Bisa saja malah dianggap makar terhadap pemerintah karena acara yang ada membawa nama suku tersebut.
Hal ini juga menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga Dusmala di Kalteng, serta munculnya beragam asumsi yang kontroversi di kalangan sendiri. Bahkan, yang kebanyakan malah kontra atau tidak setuju dengan hal tersebut.
“Surat resmi yang kami sampaikan, merupakan keberatan dari warga Dusmala di Kota Palangka Raya, sebenarnya tujuan untuk menunda agar tidak terjadi kegaduhan dan ketidaknyamanan yang berkembang semakin liar tersebut, ” tegasnya.
KWD Dusmala Kota Palangka Raya, pada dasarnya tidak setuju dengan hal tersebut. Bahkan, pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan jajaran pengurus di kabupaten di Kalteng. Sudah ada pihak Dusmala dari Murung Raya, Katingan, dan Kotim yang juga menyatakan keberatan serupa.
Sementara itu ketika disinggung soal etiskah adanya penobatan atau pengangkatan raja di era demokrasi ini, ia menegaskan bukan sebuah hal yang relevan. Apalagi hal semacam itu, bertentangan dengan tatanan hukum di Indonesia yang memang sudah diatur dalam undang-undang yang berlaku.
Tokoh muda, Ingkit Djaper, Selasa (9/8/2022) kemarin, menyampaikan, dalam prosesnya, seorang raja bukan diangkat atau dipilih, tetapi dinobatkan berdasarkan garis keturunannya sebagai putra mahkota.
Pada prinsipnya, penobatan itu sakral dan melibatkan para sesepuh kerajaan, turunan langsung yang bertalian darah, selain itu juga melibatkan seluruh tokoh adat dari lapisan masyarakat Dayak Maanyan secara penuh karena menyangkut kewilayahan yang sangat luas tentunya Dayak Maanyan secara keseluruhan.
Simbol kebesaran yang menjadi lambang sakral kerajaan dan tongkat kerajaan yang secara turun menjadi tanda kebesaran seorang raja pendahulunya dan sebagainya harus dimiliki oleh Raja yang dinobatkan. Bila ini diabaikan, dikhawatirkan, dapat menjadi bencana atau dalam bahasa Dayak Maanyan "Balas Pati".
“Pihak yang menobatkan adalah Dewan Kerajaan (para sesepuh kerajaan) dan para sepuh adat secara keseluruhan. Kalau seseorang itu tidak ada garis keturunan berdasarkan silsilah yang sah, maka statusnya tidak diakui. Kalau Raja Nansarunai sebagai simbol budaya Dayak Ma’anyan, maka itu harus melalui musyawarah masyarakat Dayak Maanyan, Dewan Adat, Para Sepuh Keturunan Langsung Raja terdahulu. Kalau tidak maka itu sudah melanggar adat dan dapat dikenai hukum adat, " katanya.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka penobatan raja Nansarunai di Sanggu itu hanya untuk organisasi masyarakat (Ormas) tertentu, kelompok tertentu, dan pertunjukan kesenian yang sama sekali tidak punya nilai sejarah, politik, sosial, dan kebudayaan.
Sebab itu penobatan raja di Sanggu itu tidak punya pengaruh apapun terhadap eksistensi orang Dayak Ma’anyan, dan itu juga tidak berarti sebagai bentuk pengakuan politik, kebudayaan, dan sosial terhadap peristiwa itu. Kedudukan KWD Dusmala malahan jauh lebih bermakna secara sosial budaya bagi warga Dusmala.